Selasa, 07 Februari 2012

BAKAT

Apa Bakat Ku ??

Selain urusan asmara, pertanyaan-pertanyaan paling mencemaskan kaum muda, mungkin termasuk kamu, adalah “Apa sih bakatku?” Mereka cemas kalau diri mereka tidak memiliki bakat apapun. Mereka waswas kalau mereka ternyata tidak memiliki cukup bakat untuk sukses di suatu bidang yang mereka minati. Mereka kuatir tidak akan menjadi sesukses yang diimpikannya hanya gara-gara bakatnya tidak mendukung. Dalam alam pikiran mereka: “hanya jika cukup berbakat maka bisa sukses; semakin berbakat maka akan semakin sukses; semakin kurang berbakat maka semakin kurang sukses.
 Satu hal mereka benar, yakni bahwa bakat “menunjang” kesuksesan. Tapi sisanya mereka salah sama sekali.
Apa sih arti bakat?
Secara sederhana, bakat bisa dianggap sebagai potensi kemampuan seseorang untuk mengerjakan sesuatu. Potensi kemampuan itu, apabila diasah terus menerus dan dilatih secara maksimal akan membuat pemiliknya berkemampuan melebihi rata-rata orang. So, bakat itu hanyalah “POTENSI.” Tidak lebih. Sukses merupakan soal lain.
Bakat muncul dari mana?
gitaKamu pasti tahu kan, Gita Gutawa? Itu lho, anaknya Erwin Gutawa, musisi Indonesia terkemuka. Nah, menurutmu apakah kemampuan Gita menyanyi karena turunan dari ayahnya? Ternyata, bukan persoalan Gita anaknya Erwin Gutawa. Faktor terpenting adalah karena semenjak lahir ke dunia, Gita telah hidup dalam dunia musik sepenuhnya. Setiap hari, setiap waktu, dan setiap kesempatan dia bersentuhan dengan musik dan dengan orang-orang musik. Dengan sendirinya, Gita kecil mengasah dirinya sendiri untuk peka terhadap musik. Kepekaan itu terus terasah seiring waktu. Jadi tidak mengherankan jika kemudian Gita piawai bermain musik dan memiliki kepekaan terhadap musik yang tinggi. Lantas, kita menyebutnya Gita berbakat musik. So, kesimpulannya, bakat ada karena dimunculkan!
Memang ada orang-orang yang dilahirkan dengan kondisi fisik khusus yang membuat mereka tidak mungkin akan bisa menguasai suatu bidang melebihi rata-rata orang lainnya. Sebagai contoh, orang yang kakinya lemah atau pincang sejak lahir dan tidak bisa lagi dipulihkan, maka sudah tentu dia tidak akan bisa menjadi pemain sepakbola handal. Dengan demikian bisa dikatakan dia tidak berbakat dalam sepakbola.
Apakah setiap orang memiliki bakat?
Ya! Setiap orang memiliki bakat! Semua orang tanpa terkecuali memilikinya. Pada dasarnya, asalkan secara fisik normal dan memiliki kecerdasan normal, maka seseorang memiliki potensi untuk melakukan apapun. Tapi tidak ada orang yang sempurna kan? Tidak mungkin kita akan menjadi hebat (melebihi rata-rata orang) dalam semua hal yang kita lakukan. Ada hal-hal tertentu dalam diri kita yang lebih kuat dibandingkan hal-hal lain. Nah, kekuatan dalam diri kita itulah potensi kita.
Harus kita akui, ada orang yang memiliki bakat lebih besar dari yang lain. Mengapa demikian? Apabila bukan karena persoalan fisik (misalnya dalam bola basket, orang yang lebih tinggi memiliki keuntungan lebih besar dibandingkan yang bertubuh pendek), maka jangan kuatir, mereka yang lebih besar bakatnya hanyalah karena mereka terasah lebih dini dan lebih meminatinya (ingat kasus Gita Gutawa). Jadi, siapa yang berminat lebih tinggi, maka dialah yang bakatnya lebih besar.
Tahukah kamu kalau kebanyakan orang berpikir bahwa menjadi ilmuwan, penemu atau peneliti, merupakan jatahnya orang-orang supercerdas yang IQ-nya di atas 140, yang matematikanya 10 atau serendah-rendahnya 9?  Alhasil, mereka mengira bahwa orang-orang seperti itulah yang berbakat di bidang keilmuan. Salah! Semua orang, asalkan dia memiliki kecerdasan normal memiliki potensi menjadi ilmuwan. Untuk disebut berbakat dalam bidang keilmuan, seseorang itu harus memiliki rasa ingin tahu yang super tinggi, mampu bekerja dan berpikir secara sistematis, mampu fokus pada satu hal secara terus menerus, kreatif menciptakan terobosan, serta memiliki kecintaan mendalam terhadap bidangnya.
Bagaimana kamu bisa tahu bakatmu?
Bagaimana kamu tahu kamu punya bakat tertentu jika kamu tidak pernah melakukan sesuatu? Tidak ada seorangpun bisa tahu bakatnya jika tidak pernah melakukan apa-apa. Bakat itu hasil tindakan. Bakatmu terlihat dengan sendirinya ada pada dirimu jika kamu melakukan berbagai hal dalam hidupmu. Sebagai misal, karena Edo (bukan nama sebenarnya), suka mendengarkan musik, maka dia berlatih memainkan gitar. Oleh karena dia senang musik, dia pun memutuskan berlatih piano. Oleh karena dia mencintai musik, maka dia mulai mencipta komposisi-komposisi musik. Lantas, ketika dia merasa memiliki kemampuan melebihi teman-temannya dan orang lain pun melihatnya memiliki kelebihan, lalu Edo dinilai berbakat musik. Dirinya sendiri pun menyadari kalau dia berbakat musik. Lantas karena tahu dirinya berbakat musik, Edo pun semakin bersemangat menekuni dunia musik. Dia berlatih keras untuk semakin piawai dan mahir.
So, lakukan banyak hal berbeda dalam hidupmu! Seriusi setiap aktivitas itu. Cermati aktivitas-aktivitas yang membuatmu merasa:
(1). “Ketika melakukannya kamu bisa seperti lupa waktu! Rasanya, kamu baru sebentar saja melakukannya, tapi ternyata kamu telah menghabiskan waktu begitu lama untuk melakukannya.
 (2). “Aktivitas-aktivitas itu adalah aktivitas kreatif yang memerlukan pengerahan kemampuan dirimu (misalnya menonton film bukanlah aktivitas kreatif, tetapi membaca skenario-skenario film, menonton film untuk melihat kekhasan setiap film, membuat perbandingan antar film, lalu membuat scenario film adalah aktivitas-aktivitas kreatif terkait film)
LEO STORY
messiKamu tahu kan Lionel Messi, si bocah ajaib dari Argentina? Pemain sepakbola yang bertinggi tubuh tidak sampai 170 cm itu (hanya 168 cm. Bandingkan dengan rata-rata pemain di eropa yang 180 cm!), merupakan orang berbakat di bidang sepakbola. Kakinya lincah dan kokoh, larinya pun kencang sehingga dia mampu meliuk-liuk melewati hadangan beberapa pemain lawan sekaligus, dan dia pun cerdas sehingga tahu benar bagaimana melewati hadangan lawan, mengoper dan mencetak gol. Tapi terpenting dari semua itu, dia pantang menyerah.
Tahukah kamu kalau saat kecilnya Messi menderita penyakit yang membuat tulang dan ototnya tidak berkembang? Penyakit itu akan harus membuatnya berhenti memainkan bola karena tulang dan ototnya tidak cukup kuat. Tapi dasar Leo sejak sangat kecil sudah sangat mencintai sepakbola, dia membandel. Leo kecil selalu ingin menendang bola meskipun sudah divonis untuk berhenti bermain bola. Orangtuanya yang termasuk keluarga miskin dan di wilayah miskin Argentina pun luluh. Mereka mengusahakan pengobatan Leo ke mana-mana. Pada akhirnya setelah menghabiskan begitu banyak biaya, mereka tahu bahwa Leo bisa sembuh dengan terapi hormon teratur. Tapi kabar buruknya datang; terapi itu membutuhkan biaya 100 dollar sebulan (kira-kira 1 juta rupiah). Penghasilan orangtua Leo tidak sebanyak itu. Maklum, mereka termasuk keluarga miskin di Argentina, yang juga termasuk Negara miskin. Akhirnya mereka pun menyerah. Mereka pasrah. Mereka hanya bisa membesarkan hati Leo dengan mengatakan kalau karirnya mungkin bukan di sepakbola.
Tapi, Leo kecil untungnya tidak menyerah. Jika saja Leo menuruti apa kata orangtuanya, maka kita tidak akan menonton liukan-liukannya di lapangan. Meskipun dia tahu sangat besar kemungkinannya tidak akan bisa menjadi pemain bola professional, tapi dia tetap bermain bola. Kali ini dia bahkan lebih bersungguh-sungguh. Ketika ditanya kenapa tetap bermain bola, dia menjawab: “Karena aku mencintainya.”
Begitulah. Hanya karena cinta Leo terus bermain bola. Skillnya pun makin terasah. Sampai suatu ketika seorang pencari bakat klub Barcelona, Spanyol, mendengar ceritanya. Si pencari bakat pun datang ke rumahnya dan melihat langsung keterampilan bola yang dimiliki Leo. Terkesima dengan skill Leo, si pencari bakat langsung menawari orangtua Leo untuk mengobati Leo sekaligus memberinya kontrak. Sejak hari itu, pengobatan Leo menjadi tanggungan Barcelona, begitu pun ekonomi keluarganya.
Kini Leo sudah berumur 21 tahun. Prestasinya mengkilap. Selama tiga tahun berturut-turut, dia dinominasikan sebagai salah satu dari 3 pemain terbaik di dunia (Tahun 2007 dia kalah dari Kaka, tahun 2008 dia kalah dari Cristiano Ronaldo, tapi tahun ini besar kemungkinan dia yang akan meraihnya). Bersama tim, dia sudah meraih 3 gelar liga spanyol, 1 gelar piala spanyol, 2 gelar Liga Champions, dan beberapa gelar lainnya. Itu bukan prestasi biasa untuk pemain yang berusia 21 tahun.
JK Rowling Story
jkrowlingKamu pasti tahu benar JK Rowling. Itu lho si penulis serial buku paling laris sedunia, “Harry Potter”, yang film terbarunya baru saja dirilis (Sudah nonton? Jangan beli CD bajakan ya!). Menurutmu, apakah dia berbakat? Ya, perempuan paruh baya itu jelas sebagai orang berbakat dalam menulis.
Tahukah kamu kalau naskah Harry Potter pernah ditolak oleh berbagai penerbit? Itulah yang terjadi. Naskah sehebat itu ditolak berkali-kali oleh banyak penerbit besar di Inggris. Saat harapannya akan berakhir, dia menemukan sebuah penerbit kecil yang tidak memiliki banyak uang. Kabar baiknya, penerbit kecil itu mau menerbitkan karyanya. Tapi untuk menuliskan naskah itu tuntas, dia butuh uang untuk membiayai hidupnya. Sedangkan, penerbit yang akan menerbitkan naskahnya sedemikian kecilnya sehingga tidak bisa memberinya pinjaman di muka. Rowling, ibu paruh baya, itu pun meminta bantuan ke Pemerintah Inggris. Untungnya pinjaman itu dikabulkan. Jika tidak, kita tidak akan pernah tahu ada kisah petualangan Harry Potter yang melegenda. Lantas hasilnya pun sudah kita ketahui bersama. Buku Harry Potter adalah buku dengan penjualan tertinggi sepanjang sejarah perbukuan. Tingkat penjualannya hanya kalah dari penjualan Kitab Suci, itupun karena kitab suci telah dijual ribuan tahun.
Kisah Leo dan Rowling memberitahu kita bahwa bakat adalah hasil kerja keras! Kerja keras! Dan Kerja Keras

sumber 
http://psikologi-online.com/apa-sih-bakatku-untuk-remaja

Sistem Pendidikan Asia Gagal

Waktu pertama baca artikel ini, saya lumayan kaget juga sih. Gimana ngga ? Selama ini kan Asia dianggap bagus dalam bidang sains dan teknologinya.

Nah langsung saja kita baca artikelnya :



Pada edisi 26 Maret 2010, salah satu jurnal sains paling bergengsi di dunia,Science, memuat sebuah artikel singkat berjudul “Asian Test-Score Culture Thwarts Creativity”, yang ditulis oleh William K. Lim dari Universiti Malaysia Sarawak. Dituturkannya bahwa meskipun sejak bertahun-tahun lalu Asia didaulat akan menjadi penghela dunia sains berkat sangat besarnya investasi di bidang sains dan teknologi, kenyataannya Asia masih tetap saja tertinggal di banding negeri-negeri barat (Eropa Barat dan Amerika Utara). Menurutnya, akar permasalahannya adalah budaya pendidikan Asia yang berorientasi pada skor-tes, yang alhasil tidak mampu mengasah keterampilan berpikir dan kreativitas pelajar. Padahal kedua kemampuan itulah yang menjadi dasar untuk bisa menjadi ilmuwan yang berhasil.
Di Asia, para pelajar dan sekolah berorientasi mengejar skor-tes setinggi-tingginya. Para pelajar yang memiliki skor-tes lebih tinggi akan lebih baik karir masa depannya karena persyaratan masuk ke berbagai institusi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik ditentukan oleh skor-tes. Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula peluangnya. Beragam pekerjaan bergengsi juga hanya bisa dimasuki oleh mereka-mereka yang memiliki skor tinggi. Sekolah yang para siswanya meraih skor-tes tinggi akan naik reputasinya, dan dengan demikian menjamin pendanaan lebih banyak. Guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi agar siswa bisa memperoleh skor-tes yang tinggi. Tidak heran jika kemudian latihan-latihan tes mengambil porsi besar dalam pendidikan di sekolah-sekolah di Asia karena keberhasilan sebuah sekolah semata-mata dinilai dari catatan skor-tes yang diperoleh sekolah itu.
Akibat iklim pendidikan berorientasi skor-tes, para orangtua di Asia lazim memasukkan anak-anaknya ke suatu les pelajaran tambahan di luar sekolah sejak usia dini. Di Singapura, pada tahun 2008, sejumlah 97 dari 100 pelajar mengikuti les tambahan pelajaran di berbagai institusi persiapan tes (baca: Lembaga Bimbingan Belajar). Pada tahun 2009, industri persiapan tes di Korea Selatan bernilai 16,3 Miliar US$ atau setara dengan 146,7 triliun rupiah. Jumlah itu kira-kira senilai 36% dari anggaran pemerintah untuk dunia pendidikan di negeri ginseng.
Akibat waktu sekolah yang panjang dan beban PR yang berat, para pelajar Asia hanya terasah kemampuan intelektualnya dalam hal mengingat fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan kembali saat ujian. Hasil dari budaya pendidikan semacam itu adalah kurangnya keterampilan menelaah, menginvestigasi dan bernalar, yang sangat dibutuhkan dalam penemuan-penemuan ilmiah. Dalam artikelnya, William K. Lim menyatakan bahwa para mahasiswa yang ditemuinya lemah dalam melihat hubungan-hubungan dalam berbagai literatur, membuat kemungkinan-kemungkinan ide-ide, dan menyusun berbagai hipotesis. Padahal, mereka adalah para peraih skor-tes tertinggi. Hal itu membuktikan kalau sistem pendidikan Asia tidak melahirkan talenta saintifik.
Benar bahwa dalam berbagai ujian, para pelajar Asia “selalu” memiliki skor-tes lebih baik dari para pelajar Eropa Barat dan Amerika Utara berkat pendidikannya yang berorientasi skor-tes. Akan tetapi ketika bicara soal kreativitas dan kualitas hasil penelitian, para pelajar Asia  jauh tertinggal. Sebagai akibatnya, sangat sedikit ilmuwan berkelas yang dihasilkan Asia. Mayoritas ilmuwan kelas dunia dari negara-negara Asia pun biasanya dididik dalam pendidikan Eropa/Amerika, bukan dalam iklim pendidikan Asia.
Tidak bisa dipungkiri bahwa para pemenang olimpiade sains dunia (fisika, sains, biologi, dan lainnya) mayoritas berasal dari Asia. Indonesia sendiri telah berkali-kali memiliki para juara. Akan tetapi mereka merupakan hasil penggodokan khusus oleh tim khusus olimpiade sains. Mereka bukan hasil alami iklim pendidikan seperti biasa. Jadi, fenomena itu sama sekali tak mengindikasikan keberhasilan sistem pendidikan di Asia. Faktanya, meskipun mendominasi kejuaraan, Asia tak kunjung melahirkan ilmuwan-ilmuwan kelas dunia. Jumlah ilmuwan yang terlahir dari Eropa/Amerika sangat timpang jauhnya dibandingkan dari Asia.
Bukti kegagalan sistem pendidikan Asia  dalam menelurkan talenta saintifik berlimpah ruah. Benar bahwa Asia,  terutama Asia Timur, digambarkan kuat dalam menyerap pengetahuan yang ada dan dalam mengadaptasi teknologi yang sudah ada (maklum, mereka canggih dalam mengingat). Akan tetapi Asia gagal membuat kontribusi orisinil terhadap ilmu-ilmu dasar. Hingga kini tidak ada temuan-temuan ilmiah berarti dari Asia. Kemajuan besar dalam sains dan teknologi yang digapai negeri-negeri Asia tidak ada yang merupakan karya orisinil Asia: nyaris semuanya merupakan adaptasi teknologi dari negeri-negeri barat. Padahal, negeri-negeri barat sempat cemas dengan besarnya investasi negara-negara Asia terhadap dunia pendidikan yang jumlahnya jauh melebihi investasi mereka. Dikuatirkan mereka bakal terkejar dan lantas tertinggal dari Asia dalam satu atau dua dekade saja. Akan tetapi, ternyata mereka tak perlu risau lagi. Investasi pendidikan besar-besaran negara-negara Asia telah gagal karena kesalahan Negara-negara itu dalam membangun budaya pendidikannya. Kini, Asia tetap tertinggal di belakang.
Indonesia agaknya tidak belajar dari kegagalan investasi pendidikan di negara-negara Asia lain. Pendidikan Indonesia saat ini ikut-ikutan berorientasi pada skor-tes. Konkretnya, skor-tes saat ujian nasional menjadi syarat mutlak kelulusan. Lantas, di mana-mana di berbagai sekolah di seluruh penjuru negeri, orientasi pengajarannya hanya agar para peserta didiknya berhasil melewati ujian nasional. Bulan-bulan menjelang ujian, berbagai mata pelajaran yang tidak diujiankan akan dihapus dari jadwal. Latihan tes ditekankan. Berbagai les diselenggarakan. Maklum, sekolah akan dianggap gagal jika tidak berhasil meluluskan siswa-siswanya dalam ujian nasional. Para politisi pun beramai-ramai memanasi suasana dengan ‘memaksa’ para sekolah di daerahnya untuk bisa meluluskan siswa-siswanya, apapun caranya. Sebab, skor-tes ujian nasional di suatu daerah juga menjadi citra daerah itu. Lantas tak mengherankan jika muncul berbagai macam kecurangan untuk mengatrol nilai para siswa agar bisa lulus ujian.
Pendidikan yang berorientasi skor-tes menjadi berkah tersendiri bagi industri persiapan tes. Industri itu akan menjadi industri pendidikan yang paling menjanjikan. Potensinya luar biasa besar. Dengan jumlah pelajar yang hanya kurang dari 20% dari jumlah pelajar di Indonesia, industri persiapan tes di Korea Selatan telah menuai kapitalisasi senilai 146,7 triliun rupiah. Bayangkan besarnya potensi pasar industri persiapan tes di Indonesia, potensinya bisa diduga ratusan triliun rupiah. Anda tertarik?
Buah yang akan dituai dari budaya pendidikan berorientasi skor-tes sangat jelas, seperti ditunjukkan negara-negara Asia lain yang telah gagal: ketidakmampuan menghasilkan ilmuwan. Maka, selamanya, selama budaya pendidikan itu tak diubah, Indonesia tak akan pernah mampu menjadi pelopor di bidang sains dan teknologi. Indonesia hanya akan menjadi pengekor karya ilmiah negeri-negeri lain, seperti selama ini. Masih mending negara-negara Asia lain, seperti Korea, Taiwan, China, Singapura dan Jepang yang mampu membuat adaptasi teknologi sehingga memakmurkan negerinya. Sedangkan kita, mengadaptasi saja tak mampu, apalagi mencipta.
Agaknya pemerintah Indonesia tetap ‘kekeuh’ mempertahankan kebijakan pendidikan skor-tes itu dengan berbagai alasannya. Tapi, pertimbangkanlah ini: jika negeri-negeri semaju seperti Korea, Jepang, Taiwan, Singapura saja telah dianggap gagal menelurkan para ilmuwan (dan dengan demikian gagal menjadi tuan di bidang sains dan teknologi) gara-gara budaya pendidikannya yang berorientasi skor-tes, masa sih kita harus meniru mereka?
Mengutip William K. Lim: “A radical trasformation of the educational culture must happen before homegrown Asian science can challenge Western technological dominance.”
Benar kata Tuan Lim, kita memerlukan transformasi radikal dalam pendidikan kita, atau kita akan terus menjadi negeri tak dianggap siapa-siapa.

sumber